Rabu, 15 Mei 2013

cerpen tugas bahasa indonesia


Ukiran Sebuah Senyuman



Ibu Suhartini, seorang janda beranak tunggal yang hidup dalam himpitan kemiskinan harus bertahan hidup untuk dapat membesarkan anak semata wayangnya agar dapat menjadi orang yang sukses. Ahmad Yani, nama anak dari Ibu Suhartini, nama itu sengaja diberikan oleh almarhum suami Ibu Suhartini dengan harapan Ahmad bisa menjadi seorang seperti Ahmad Yani, yang walaupun dalam keadaan sakit masih mampu untuk memimpin perang gerilya. Suami Ibu Suhartini meninggal ketika Ahmad masih berumur 1 tahun, sebagai seorang single parents Ibu Suhartini harus berjuang mati-matian untuk menghidupi anaknya, mulai dari buruh cuci, tukang kebun, pembantu semua ia kerjakan. Dulu, sewaktu suaminya masih hidup ia tinggal di Banjarnegara bersama suaminya, tetapi ketika suaminya wafat, ia memutuskan untuk tinggal di rumah orang tuanya di Jogja.
            Tidak terasa, waktu pun cepat berlalu, kini Ahmad telah beranjak dewasa, dengan perjuangan ibunya, Ahmad kini dapat bersekolah di sebuah SMP ternama di kotanya.Di suatu senja yang temaram Ahmad berbincang kepada ibunya,
“Mamake, besok inyong jalan-jalan ke Gunung Kidul, inyong digawakke bekal yo Mamake?”
“Iya nak, eh, sejak kapan kamu bisa dialeg orang tegal?”
“Hehe, temenku yang ngajarin Mamake, bagus kan Mamake?”
“Iya bagus, besok Ahmad mau dibuatkan bekal apa?”
“Kalau Ahmad sih pinginnya Ayam Goreng Mamake, Ahmad udah lama ngak makan ayam” sejenak Ibu Suhartini termenung atas perkataan anaknya, lalu dengan senyum khasnya ia menjawab,
“Ayam Goreng ya, ya udah besok Mamake buatin, udah adzan tuh, sana ke Masjid dulu”
“Oke Mamake, makasih ya”
            Ibu Suhartini merasa sedih atas ketidakmampuan ekonomi yang ia hadapi, ia kasihan terhadap Ahmad, Ahmad layak atas kehidupan yang lebih baik.
            Siang harinya di sebuah pantai Ahmad sedang asyik berbincang dengan temannya,
            “Eh Dab, kamu bawa bekal apa?” tanya teman Ahmad
            “Aku bawa ayam goreng buatan ibuku, enak lho, coba deh?”
            “Aku nyicip ya Mad, w-wuih enak Mad, ibumu suruh buka warung ayam goreng aja Mad, dijamin laku abis!” gurau teman Ahmad, walaupun sebatas gurauan tapi Ahmad menganggap itu suatu ide agar Ibunya dapat pekerjaan yang lebih baik.
            “Mamake, Mamake buka warung aja Mamake, masakan Mamake kan enak-enak!” seru Ahmad keesokan harinya kepada ibunya.
            “Ah, itukan menurut kamu, nanti kalau buka warung ternyata ngak laku kan rugi to le!”
            “Coba aja dulu mamake, siapa tau laku, nanti Ahmad bantuin jualan di sekolah deh!”
            Ibu Suhartini pun berpikir dengan keras, dan akhirnya memutuskan untuk mengikuti ide Ahmad, “Tidak ada salahnya mencoba” gumannya dalam hati.
            Waktu terus berlalu, bisnis ayam goreng ibu suhartini pun maju pesat, sekarang ibu suhartini sudah mempunyai warung makan yang laris setiap harinya. Keadaan ekonomi Ibu Suhartini berbalik 180 derajat, kini ia bukan lagi seorang buruh cuci, ia sekarang menjadi seorang pemilik warung makan yang cukup ramai. Ini semua berkat ide Ahmad, Ahmad juga lah yang selalu promosi kepada setiap orang, sehingga bisnis ayam goreng bisa semaju sekarang, Ibu Suhartini sangat bangga kepada anaknya.
            Tak terasa, Ahmad sekarang sudah menjadi anak SMA, kini Ahmad bersekolah di sebuah SMA di kotanya, sekolah Ahmad kali ini memang tidak begitu ternama, karena sewaktu mau UN, Ahmad malah terlena pada bisnis Ayam Goreng Ibunya, sehingga fokus belajarnya goyah, dan Ahmad harus menerima apa adanya SMAnya sekarang, karena di sinilah Ahmad akan menjalani 3 tahun masa yang katanya tak akan terlupakan.
            Ahmad menjalani waktu-waktu SMAnya seperti anak SMA pada umumnya, tetapi sebenarnya jauh di lubuk hati Ahmad, Ahmad merasa berbeda, Ahmad malas berangkat ke sekolah, Ahmad tidak mau bertemu dengan teman-temannya, karena kebanyakan teman Ahmad disekolahsudah kenal dengan yang namanya rokok, narkoba, shabu, dan sejenisnya. Ahmad takut kalau ia ikut-ikutan temannya, apalagi hampir setiap hari Ahmad selalu diajak untuk merokok, Ahmad pun selalu dan selalu menolak. Tapi namanya manusia pasti ada keadaan dimana ia sedang khilaf, dan Ahmad akhirnya terbujuk oleh rayuan teman-temannya untuk merokok. Memang awalnya cuma ngerokok di tempat tongkrongan, tapi lama-lama Ahmad pun tergiur untuk merasakan shabu, pil ekstasi, dan berbagai macam barang haram lainnya.
            Ibu Suhartini melihat perbedaan yang besar pada diri anaknya, anaknya yang dulu pulang sekolah langsung pulang ke rumah, sekarang entah kemana dulu baru pulang pada malam harinya, bicaranya pun kasar. Suatu malam Ibu Suhartini sengaja tidak langsung tidur untuk menunggu anaknya pulang, ketika melihat anaknya memasuki rumah, ibu suhartini bertanya,
            “Dari mana aja kamu le?”
            “Ahhh, ini bukan urusanmu!”
            “Le, aku ini ibumu, mamakemu, jelas ini urusanku, kamu ini anakku!”
            “Asshh, udah lah, aku mau tidur, capek tau ngak sih!” bentak Ahmad sambil mendorong ibunya ke sofa. Ibu Suhartini pun merasa sangat sedih atas kelakuan anaknya, memang akhir-akhir ini ia sibuk mengurusi bisnisnya yang telah membuka cabang di berbagai kota, tapi ini semua ia lakukan juga untuk anaknya.
           Waktu semakin berlalu, Ibu Suhartini sakit karena menanggung rasa bersalah yang begitu besar pada anaknya, bisnisnya ia percayakan pada tangan kanannya, dan Ahmad semakin tenggelam ke dunia malamnya, Ibu Suhartini sudah dipanggil beberapa kali ke sekolahnya Ahmad karena Ahmad sering membolos sekolah, hal inilah yang membuat sakitnya Ibu Suhartini semakin parah, dan tadi pagi, ia kembali dipanggil oleh kepala sekolah Ahmad untuk yang ketiga kalinya yang mengabarkan bahwa Ahmad dikeluarkan dari sekolah, Ibu Suhartini tidak pernah menyangka anak yang dulu sangat ia banggakan sampai dikeluarkan dari sekolah, ia merasa bersalah, bersalah kepada Ahmad, karena tidak mampu menjadi ibu yang baik, merasa bersalah kepada almarhum suaminya karena tidak mampu memenuhi keinginanya untuk membuat Ahmad seperti sosok Ahmad Yani.
            Hati Ibu Suhartini perih, seharian ini ia mau menenangkan diri di kamar, keadaannya memburuk, kepalanya bertambah pusing, ia tidak tahu lagi bagaimana caranya membuat Ahmad menjadi Ahmad yang dulu, apalagi dengan keadaannya yang sekarang, bergerak saja rasanya susah bagi Ibu Suhartini, yang dapat Ibu Suhartini lakukan sekarang hanyalah berdo’a untuk kebaikan anaknya. Sudah beberapa hari ini semenjak Ibu Suhartini sakit, Ibu Suhartini belum melihat kondisi anak semata wayangnya, ia khawatir, tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa, kabar dari sekolah tadi sudah membuat sakit Ibu Suhartini semakin parah.
            Tengah malam, ketika semua mata tengah beristirahat, Ahmad dalam perjalanan pulang menggunakan mobil priadinya, Ahmad baru saja mau pulang setelah seharian berpesta narkoba di rumah temannya, di tengah hujan yang begitu deras ia melihat seorang ibu dan anak lelakinya di sebuah halte seperti sedang menunggu angkutan umum, padahal, jam segini sudah tidak ada angkutan umum yang lewat, ia melihat bagaimana ibu itu rela memberikan jaketnya kepada anaknya supaya tidak kedinginan, bagaimana ibu itu menenangkan anaknya agar tidak ketakutan, seorang ibu yang rela memberikan apa saja yang ia punya hanya untuk kebahagiaan anaknya, Ahmad tertegun, ia merasa sudah lama sekali tidak melihat ibunya, walaupun ia dan ibunya tinggal serumah, tetapi ia tidak pernah bertemu atau sekedar bertegur sapa dengan ibunya, ia sibuk dengan dunia malamnya, malam ia pulang ke rumah, ia langsung tidur, dan jam 10 pagi baru bangun kemudian main sampai malam entah sampai kemana saja, melakukan apasaja, hanya Ahmad dan teman-teman genknya yang tahu, Ahmad sekarang juga tidak peduli dengan sekolahnya, terakhir ia ke sekolah, ia dan teman-teman genknya dipanggil ke guru BK dan diancam orang tuanya akan dipanggil. Setelah itu, Ahmad tidak peduli, ia hanya peduli pada dunia malam dan segala kenikmatan yang ada didalamnya.
            Setelah lama termenung Ahmad turun dari mobil dan menghampiri sosok Ibu dan anaknya itu dan menawarkan tumpangan, entah kenapa muncul perasaan baik ingin menolong ketika melihat ibu itu, perasaan yang selama ini terkubur di hatinya muncul kembali, Ahmad rindu perasaan ini, perasaan yang menentramkan. Ahmad pun bertanya kepada sang ibu,
            “Bu, mau kemana ya?kok jam segini masih disini?”
            “Ini mas, mau pulang tapi nunggu bis yang kearah condong catur kok ngak ada, udah nunggu 3 jam”
            “Oh, kebetulan kita searah bu, ikut saya aja, saya antar ke rumahnya ibu”
            “Bener mas?tidak merepotkan?”
            “Tidak kok bu, lagian kasihan anaknya kedinginan”
            “Ya udah mas, saya ikut, makasih banyak ya mas”
            “Iya, sama-sama bu, mari masuk”
            Setelah mengantarkan ibu itu, Ahmad meluncur ke rumahnya sendiri, Ahmad telah memutuskan untuk bertobat, karena yang ia lakukan sekarang tidak ada manfaatnya sama sekali, besok pagi, ia akan meminta maaf kepada ibunya atas semua yang telah ia lakukan, ia rindu, rindu pada kasih sayang, kelembutan, senyum ibunya. Ia merasa sudah lama sekali tidak melihat itu semua.
            Keesokan harinya, Ahmad bangun pada pukul 5 pagi, ia sengaja, karena jam segitu ibunya belum berangkat kerja, ia masuk ke dapur, karena biasanya jam segini ibunya ada di dapur untuk memasak, tetapi yang dilihat sekarang di dapur hanyalah pembantunya tanpa ibunya, ia bertanya ke pembantunya,
            “Mbak, Ibu kemana ya?”
            “Eh Mas Ahmad, Mbak kira siapa, Ibu belum bangun Mas, masih di kamar”
            “Lho, tumben mbak, biasanya kan jam segini Ibu udah bangun”
            “Iya itukan biasanya Mas, sekarang kan Ibu lagi sakit”
            “Lagi sakit?sakit apa Mbak?”tanya Ahmad dengan perasaan campur aduk,
            “Coba Mas Ahmad tanyain ke ibunya sendiri saja” jawab pembantunya yang tidak tega membicarakan alasan sebenarnya kenapa Ibu Suhartini sakit.
            “Oh gitu ya, yaudah makasih ya mbak”
            Di dalam hati Ahmad ada sedikit rasa penyesalan yang mendalam, bagaimana bisa ibunya sakit beberapa hari, dan ia tidak tahu sama sekali, “Aku memang sudah terlena” guman Ahmad dalam hati. Ahmad mengetuk pintu kamar ibunya tapi tidak ada jawaban, Ahmad pun masuk,
            “Assalamu’alaikum”
            Terlihat ibunya masih tertidur, melihat ibunya hati Ahmad rasanya perih, Ahmad sangat rindu pada Ibunya, rindu saat-saat mereka susah dulu, rindu saat Ahmad masih kecil yang jika keman-mana maunya digendong, rindu ketika saat menyakinkan ibunya untuk berjualan, rindu senyum khasnya, Ahmad rindu semua hal yang ia lakukan bersama ibunya, ia sekarang sadar, ia salah, ia harus segera minta maaf kepada ibunya. Ahmad tidak kuasa menahan tangisnya dan langsung memeluk ibunya,
            “Mamake, maafkan Ahmad ya, Ahmad memang anak ngak tau diri, maafkan Ahmad ya!” ucap Ahmad sambil berlinang air mata, tetapi anehnya ibunya tidak merespon sama sekali, bergerak saja tidak,  ibunya tetap tertidur, Ahmad memegang kulit ibunya, “Dingin” guman Ahmad dalam hati, Ahmad mencoba merasakan nafas ibunya yang telah dilukainya, “Tidak ada desahan nafas”, Ahmad tidak mampu mengartikannya, ia hanya menangis, menangis, menyesali semua perbuatannya, menyesal memang tidak ada gunanya, tetapi, itulah yang dilakukan Ahmad, ia menyesal, teramat menyesal, kenapa harus sekarang, ia belum sempat meminta maaf, ia belum sempat mengukir sebuah senyuman hangat pada bibir ibunya, yang dapat ia lakukan hanya mengukir sebuah senyum kesengsaraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar