Ukiran Sebuah Senyuman
Ibu Suhartini,
seorang janda beranak tunggal yang hidup dalam himpitan kemiskinan harus
bertahan hidup untuk dapat membesarkan anak semata wayangnya agar dapat menjadi
orang yang sukses. Ahmad Yani, nama anak dari Ibu Suhartini, nama itu sengaja
diberikan oleh almarhum suami Ibu Suhartini dengan harapan Ahmad bisa menjadi
seorang seperti Ahmad Yani, yang walaupun dalam keadaan sakit masih mampu untuk
memimpin perang gerilya. Suami Ibu Suhartini meninggal ketika Ahmad masih
berumur 1 tahun, sebagai seorang single parents Ibu Suhartini
harus berjuang mati-matian untuk menghidupi anaknya, mulai dari buruh cuci,
tukang kebun, pembantu semua ia kerjakan. Dulu, sewaktu suaminya masih hidup ia
tinggal di Banjarnegara bersama suaminya, tetapi ketika suaminya wafat, ia
memutuskan untuk tinggal di rumah orang tuanya di Jogja.
Tidak
terasa, waktu pun cepat berlalu, kini Ahmad telah beranjak dewasa, dengan
perjuangan ibunya, Ahmad kini dapat bersekolah di sebuah SMP ternama di
kotanya.Di suatu senja yang temaram Ahmad berbincang kepada ibunya,
“Mamake, besok
inyong jalan-jalan ke Gunung Kidul, inyong digawakke bekal yo Mamake?”
“Iya nak, eh, sejak
kapan kamu bisa dialeg orang tegal?”
“Hehe, temenku
yang ngajarin Mamake, bagus kan Mamake?”
“Iya bagus,
besok Ahmad mau dibuatkan bekal apa?”
“Kalau Ahmad
sih pinginnya Ayam Goreng Mamake, Ahmad udah lama ngak makan ayam” sejenak Ibu
Suhartini termenung atas perkataan anaknya, lalu dengan senyum khasnya ia
menjawab,
“Ayam Goreng
ya, ya udah besok Mamake buatin, udah adzan tuh, sana ke Masjid dulu”
“Oke Mamake,
makasih ya”
Ibu
Suhartini merasa sedih atas ketidakmampuan ekonomi yang ia hadapi, ia kasihan
terhadap Ahmad, Ahmad layak atas kehidupan yang lebih baik.
Siang
harinya di sebuah pantai Ahmad sedang asyik berbincang dengan temannya,
“Eh
Dab, kamu bawa bekal apa?” tanya teman Ahmad
“Aku
bawa ayam goreng buatan ibuku, enak lho, coba deh?”
“Aku
nyicip ya Mad, w-wuih enak Mad, ibumu suruh buka warung ayam goreng aja Mad,
dijamin laku abis!” gurau teman Ahmad, walaupun sebatas gurauan tapi Ahmad
menganggap itu suatu ide agar Ibunya dapat pekerjaan yang lebih baik.
“Mamake,
Mamake buka warung aja Mamake, masakan Mamake kan enak-enak!” seru Ahmad
keesokan harinya kepada ibunya.
“Ah,
itukan menurut kamu, nanti kalau buka warung ternyata ngak laku kan rugi to
le!”
“Coba
aja dulu mamake, siapa tau laku, nanti Ahmad bantuin jualan di sekolah deh!”
Ibu
Suhartini pun berpikir dengan keras, dan akhirnya memutuskan untuk mengikuti ide
Ahmad, “Tidak ada salahnya mencoba” gumannya dalam hati.
Waktu
terus berlalu, bisnis ayam goreng ibu suhartini pun maju pesat, sekarang ibu
suhartini sudah mempunyai warung makan yang laris setiap harinya. Keadaan
ekonomi Ibu Suhartini berbalik 180 derajat, kini ia bukan lagi seorang buruh
cuci, ia sekarang menjadi seorang pemilik warung makan yang cukup ramai. Ini
semua berkat ide Ahmad, Ahmad juga lah yang selalu promosi kepada setiap orang,
sehingga bisnis ayam goreng bisa semaju sekarang, Ibu Suhartini sangat bangga
kepada anaknya.
Tak
terasa, Ahmad sekarang sudah menjadi anak SMA, kini Ahmad bersekolah di sebuah
SMA di kotanya, sekolah Ahmad kali ini memang tidak begitu ternama, karena
sewaktu mau UN, Ahmad malah terlena pada bisnis Ayam Goreng Ibunya, sehingga
fokus belajarnya goyah, dan Ahmad harus menerima apa adanya SMAnya sekarang,
karena di sinilah Ahmad akan menjalani 3 tahun masa yang katanya tak akan
terlupakan.
Ahmad
menjalani waktu-waktu SMAnya seperti anak SMA pada umumnya, tetapi sebenarnya
jauh di lubuk hati Ahmad, Ahmad merasa berbeda, Ahmad malas berangkat ke sekolah,
Ahmad tidak mau bertemu dengan teman-temannya, karena kebanyakan teman Ahmad
disekolahsudah kenal dengan yang namanya rokok, narkoba, shabu, dan sejenisnya.
Ahmad takut kalau ia ikut-ikutan temannya, apalagi hampir setiap hari Ahmad
selalu diajak untuk merokok, Ahmad pun selalu dan selalu menolak. Tapi namanya
manusia pasti ada keadaan dimana ia sedang khilaf, dan Ahmad akhirnya terbujuk
oleh rayuan teman-temannya untuk merokok. Memang awalnya cuma ngerokok di
tempat tongkrongan, tapi lama-lama Ahmad pun tergiur untuk merasakan shabu, pil
ekstasi, dan berbagai macam barang haram lainnya.
Ibu
Suhartini melihat perbedaan yang besar pada diri anaknya, anaknya yang dulu
pulang sekolah langsung pulang ke rumah, sekarang entah kemana dulu baru pulang
pada malam harinya, bicaranya pun kasar. Suatu malam Ibu Suhartini sengaja
tidak langsung tidur untuk menunggu anaknya pulang, ketika melihat anaknya
memasuki rumah, ibu suhartini bertanya,
“Dari
mana aja kamu le?”
“Ahhh,
ini bukan urusanmu!”
“Le,
aku ini ibumu, mamakemu, jelas ini urusanku, kamu ini anakku!”
“Asshh,
udah lah, aku mau tidur, capek tau ngak sih!” bentak Ahmad sambil mendorong
ibunya ke sofa. Ibu Suhartini pun merasa sangat sedih atas kelakuan anaknya,
memang akhir-akhir ini ia sibuk mengurusi bisnisnya yang telah membuka cabang
di berbagai kota, tapi ini semua ia lakukan juga untuk anaknya.
Waktu
semakin berlalu, Ibu Suhartini sakit karena menanggung rasa bersalah yang
begitu besar pada anaknya, bisnisnya ia percayakan pada tangan kanannya, dan
Ahmad semakin tenggelam ke dunia malamnya, Ibu Suhartini sudah dipanggil
beberapa kali ke sekolahnya Ahmad karena Ahmad sering membolos sekolah, hal inilah
yang membuat sakitnya Ibu Suhartini semakin parah, dan tadi pagi, ia kembali
dipanggil oleh kepala sekolah Ahmad untuk yang ketiga kalinya yang mengabarkan
bahwa Ahmad dikeluarkan dari sekolah, Ibu Suhartini tidak pernah menyangka anak
yang dulu sangat ia banggakan sampai dikeluarkan dari sekolah, ia merasa
bersalah, bersalah kepada Ahmad, karena tidak mampu menjadi ibu yang baik,
merasa bersalah kepada almarhum suaminya karena tidak mampu memenuhi
keinginanya untuk membuat Ahmad seperti sosok Ahmad Yani.
Hati
Ibu Suhartini perih, seharian ini ia mau menenangkan diri di kamar, keadaannya
memburuk, kepalanya bertambah pusing, ia tidak tahu lagi bagaimana caranya
membuat Ahmad menjadi Ahmad yang dulu, apalagi dengan keadaannya yang sekarang,
bergerak saja rasanya susah bagi Ibu Suhartini, yang dapat Ibu Suhartini
lakukan sekarang hanyalah berdo’a untuk kebaikan anaknya. Sudah beberapa hari
ini semenjak Ibu Suhartini sakit, Ibu Suhartini belum melihat kondisi anak
semata wayangnya, ia khawatir, tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa, kabar dari
sekolah tadi sudah membuat sakit Ibu Suhartini semakin parah.
Tengah
malam, ketika semua mata tengah beristirahat, Ahmad dalam perjalanan pulang
menggunakan mobil priadinya, Ahmad baru saja mau pulang setelah seharian berpesta
narkoba di rumah temannya, di tengah hujan yang begitu deras ia melihat seorang
ibu dan anak lelakinya di sebuah halte seperti sedang menunggu angkutan umum, padahal,
jam segini sudah tidak ada angkutan umum yang lewat, ia melihat bagaimana ibu
itu rela memberikan jaketnya kepada anaknya supaya tidak kedinginan, bagaimana
ibu itu menenangkan anaknya agar tidak ketakutan, seorang ibu yang rela
memberikan apa saja yang ia punya hanya untuk kebahagiaan anaknya, Ahmad
tertegun, ia merasa sudah lama sekali tidak melihat ibunya, walaupun ia dan
ibunya tinggal serumah, tetapi ia tidak pernah bertemu atau sekedar bertegur
sapa dengan ibunya, ia sibuk dengan dunia malamnya, malam ia pulang ke rumah,
ia langsung tidur, dan jam 10 pagi baru bangun kemudian main sampai malam entah
sampai kemana saja, melakukan apasaja, hanya Ahmad dan teman-teman genknya yang
tahu, Ahmad sekarang juga tidak peduli dengan sekolahnya, terakhir ia ke
sekolah, ia dan teman-teman genknya dipanggil ke guru BK dan diancam orang
tuanya akan dipanggil. Setelah itu, Ahmad tidak peduli, ia hanya peduli pada
dunia malam dan segala kenikmatan yang ada didalamnya.
Setelah
lama termenung Ahmad turun dari mobil dan menghampiri sosok Ibu dan anaknya itu
dan menawarkan tumpangan, entah kenapa muncul perasaan baik ingin menolong
ketika melihat ibu itu, perasaan yang selama ini terkubur di hatinya muncul
kembali, Ahmad rindu perasaan ini, perasaan yang menentramkan. Ahmad pun
bertanya kepada sang ibu,
“Bu,
mau kemana ya?kok jam segini masih disini?”
“Ini
mas, mau pulang tapi nunggu bis yang kearah condong catur kok ngak ada, udah
nunggu 3 jam”
“Oh,
kebetulan kita searah bu, ikut saya aja, saya antar ke rumahnya ibu”
“Bener
mas?tidak merepotkan?”
“Tidak
kok bu, lagian kasihan anaknya kedinginan”
“Ya
udah mas, saya ikut, makasih banyak ya mas”
“Iya,
sama-sama bu, mari masuk”
Setelah
mengantarkan ibu itu, Ahmad meluncur ke rumahnya sendiri, Ahmad telah
memutuskan untuk bertobat, karena yang ia lakukan sekarang tidak ada manfaatnya
sama sekali, besok pagi, ia akan meminta maaf kepada ibunya atas semua yang
telah ia lakukan, ia rindu, rindu pada kasih sayang, kelembutan, senyum ibunya.
Ia merasa sudah lama sekali tidak melihat itu semua.
Keesokan
harinya, Ahmad bangun pada pukul 5 pagi, ia sengaja, karena jam segitu ibunya
belum berangkat kerja, ia masuk ke dapur, karena biasanya jam segini ibunya ada
di dapur untuk memasak, tetapi yang dilihat sekarang di dapur hanyalah
pembantunya tanpa ibunya, ia bertanya ke pembantunya,
“Mbak,
Ibu kemana ya?”
“Eh
Mas Ahmad, Mbak kira siapa, Ibu belum bangun Mas, masih di kamar”
“Lho,
tumben mbak, biasanya kan jam segini Ibu udah bangun”
“Iya
itukan biasanya Mas, sekarang kan Ibu lagi sakit”
“Lagi
sakit?sakit apa Mbak?”tanya Ahmad dengan perasaan campur aduk,
“Coba
Mas Ahmad tanyain ke ibunya sendiri saja” jawab pembantunya yang tidak tega
membicarakan alasan sebenarnya kenapa Ibu Suhartini sakit.
“Oh
gitu ya, yaudah makasih ya mbak”
Di
dalam hati Ahmad ada sedikit rasa penyesalan yang mendalam, bagaimana bisa
ibunya sakit beberapa hari, dan ia tidak tahu sama sekali, “Aku memang sudah
terlena” guman Ahmad dalam hati. Ahmad mengetuk pintu kamar ibunya tapi tidak
ada jawaban, Ahmad pun masuk,
“Assalamu’alaikum”
Terlihat
ibunya masih tertidur, melihat ibunya hati Ahmad rasanya perih, Ahmad sangat
rindu pada Ibunya, rindu saat-saat mereka susah dulu, rindu saat Ahmad masih
kecil yang jika keman-mana maunya digendong, rindu ketika saat menyakinkan
ibunya untuk berjualan, rindu senyum khasnya, Ahmad rindu semua hal yang ia
lakukan bersama ibunya, ia sekarang sadar, ia salah, ia harus segera minta maaf
kepada ibunya. Ahmad tidak kuasa menahan tangisnya dan langsung memeluk ibunya,
“Mamake,
maafkan Ahmad ya, Ahmad memang anak ngak tau diri, maafkan Ahmad ya!” ucap Ahmad
sambil berlinang air mata, tetapi anehnya ibunya tidak merespon sama sekali,
bergerak saja tidak, ibunya tetap
tertidur, Ahmad memegang kulit ibunya, “Dingin” guman Ahmad dalam hati, Ahmad
mencoba merasakan nafas ibunya yang telah dilukainya, “Tidak ada desahan
nafas”, Ahmad tidak mampu mengartikannya, ia hanya menangis, menangis,
menyesali semua perbuatannya, menyesal memang tidak ada gunanya, tetapi, itulah
yang dilakukan Ahmad, ia menyesal, teramat menyesal, kenapa harus sekarang, ia
belum sempat meminta maaf, ia belum sempat mengukir sebuah senyuman hangat pada
bibir ibunya, yang dapat ia lakukan hanya mengukir sebuah senyum kesengsaraan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar